1. 1 Latar Belakang
Sebuah bank mungkin akan mampu bertahan selama seratusan tahun. Akan tetapi pendirinya tidak. Meski demikian anak cucu dari founding father bank tersebut masih bisa menikmati kepemilikannya dan melihat bank itu tetap beroperasi jika memang bank itu masih bertahan. Akan tetapi skenario itu bisa saja tak berjalan jika regulator tidak menginginkannya karena suatu hal.
Di Indonesia, bank-bank yang didirikan oleh seseorang atau sebuah keluarga memang terhitung masih banyak. Gelombang mendirikan bank-bank yang dimiliki oleh satu keluarga yang menguasai bisnis sejatinya terjadi pada akhir 80-an setelah pemerintah mengeluarkan paket deregulasi pada Oktober 1988 (yang dikenal dengan pakto 88). Dengan ‘hanya’ bermodal Rp10 miliar, seseorang bisa dengan mudah mendirikan bank.
Namun sepuluh tahun berselang banyak di antara mereka yang kolaps bersamaan dengan krisis ekonomi. Sebut saja, Bank Andromeda milik Bambang Trihatmodjo putra Presiden Soeharto, atau Bank Pacific milik Ponco Sutowo. Selain itu, ada pula Bank Jakarta milik pengusaha pribumi kondang Probosutedjo atau Bank Industri milik Titiek Prabowo, putri Presiden Soeharto. Jangan lupakan pula Bank Nusa Nasional milik keluarga Bakrie dan Bank Harapan Sentosa milik pengusaha Hendra Rahardja.
‘Kematian’ bank keluarga malah sudah terjadi sejak tahun 1992 saat Bank Summa milik Edward Soeryadjaya, anak sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dilikuidasi.
Akan tetapi, setelah krisis ekonomi dinyatakan berlalu, minat para pemilik dana kakap untuk mendirikan bank di Indonesia tumbuh lagi. Bahkan minat itu tak surut meski Bank Indonesia memperketatnya dengan meningkatkan persyaratan modal hingga Rp3 triliun.
Makalah ini berisikan informasi tentang perjalanan kasus Bapindo, Pengusutan Kasus Bapindo, Kebangkrutan Bank Summa dan TerakhirBank Century yang sejak awal berdirinya diselimuti kontroversi, instrumen reksadana bodong yang dikeluarkan PT Anta Boga Delta Securitas dimana sebenarnya perusaham ini tidak terdaftar sebagai agen penjual efek atau reksadana terpadu di bursa pasar dan skandal pengucuran dana yang melibatkan pejabat.
1. 2 Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan beberapa masalah diantaranya:
A. Masa Akuisisi dan Merger (2001-2004)
B. Investasi Bodong dan Masalah Likuiditas, Solvabilitas dan Profitabilitas pada Bank Century.
C. Kontroversi bantuan pendanaan yang diberikan Bank Indonesia.
D. Pengusutan kasus Bank Century.
1. 3 Tujuan Penulisan
A. Memaparkan Awal Berdirinya Bank Century.
B. Mengungkap Permasalahan Yang Membelit Bank Century.
C. Mengungkap Kejanggalan Pada Kegiatan Pendanaan Yang dilakukan Bank Century.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Bapindo
2.1.1 Awal Berdirinya Bapindo
Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) berawal dari Bank Industri Negara (BIN), sebuah bank Indutri yang didirikan pada tahun 1951. Misi Bank Industrinegara adalah mendukung pengembangan sektor – sektor ekonomi tertentu, khususnya perkebunan, industri, dan pertambangan. Bapindo dibentuk sebagai bank milik negara pada tahun 1960 dan BIN kemudian digabung dengan Bank Bapindo. Pada tahun 1970, Bapindo ditugaskan untuk membantu pembangunan nasional melalui pembiayaan jangka menengah dan jangka panjang pada sektor manufaktur, transportasi dan pariwisata.
Nama Bapindohilang ditelan oleh Bank Mandiri akibat krisis perbankan yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Bapindo adalah salah satu bank milik pemerintah yang khusus membiayai infrastruktur untuk seluruh nasabahnya baik swasta maupun pemerintah. Bapindo memiliki expertise yang tidak dimiliki oleh bank-bank lainnya.
Demikian pula dengan tiga bank milik pemerintah lainnya yang telah dilebur jadi Bank Mandiri yakni Bank Dagang negara(BDN) untuk bidang komersial, Bank Ekspor Impor Indonesia (Bank Eksim) untuk bidang ekspor impor , Bank Bumi Daya (BBD) untuk bidang perkebunan dan agribisnis. Sedangkan untuk pengembangan bidang usaha kecil, tani dan nelayan diserahkan kepada Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang tidak ikut dilebur kedalam Bank Mandiri. Bahkan, sekarang BRI telah menjadi salah satu bank terbesar di Indonesia yang tampaknya telah melupakan missi awalnya. Sekarang usaha mikro,kecil dan menengah telah digarap oleh bank swasta dan bank asing secara besar-besaran sehingga merenggut pangsa pasar BRI.
2.1.2 Latar Belakang Terungkapnya Kasus Bapindo
Kasus Bapindo merupakan salah satu kasus keuangan yang terbesar yang pernah ada dalam sejarah pembangunan republik Indonesia. Kasus ini merupakan akibat dari kesalahan para individu yang menyalurkan dana untuk sebuah proyek senilai Rp. 1,3 Triliun yang di transaksikan oleh pihak Bapindo dengan pihak Golden Key Group. Pihak Bapindo merupakan pihak pemerintah yang bekerja memberikan dana kepada Golden Key Group yang di pimpin oleh Eddy Tansil
Permohonan kredit ini diajukan oleh Eddy Tansil untut PT. Graha Swakarsa Prima (GSP) No. 7/ GSP/89 tanggal 16 Juni 1989 kepada kantor besar Bapindo (KBB) untuk kredit investasi dan Kredit Modal Kerja sejumlah US$ 125,5 Juta. [1]Permohonan ini ditunda, karena sumber pembiayaan masih dalam proses pencarian. Menko Polkam Sudomo kemudian mengirim surat ke dirut Bank Eksport dan Import Indonesia dan Dirut Bank Dagang Negara, Isinya, atas nama Bapindo, Sudomo meminta agar meminta kedua bank berpartisipasi dalam Proyek Golden Key Group dengan bergabung ke dalam sindikasi kredit. Golden Key kemudian mengirim surat ke Kantor besar Bapindo dengan isi meminta uang jaminan pembukaan L/C sebesar 25% dari jumlah L/C yang ditiadakan. Tanggal 28 September 1989, kantor besar Bapindo menyetujui PT. GSP membuka Ussance L/C sebesar US$125 juta dengan syarat deposito US$ 2 juta.
Desember 1989, Direktur Bapindo, menemui wakil kepala Bapindo cabang Jakarta Utama, Maman Suparman untuk menengur mengapa permbukaan L/C perusahaan Eddy Tansil begitu lambat. PT GSP kemudian mengajukan permohonan perubahan Usance L/C menjadi Red Clause L/C di kantor cabang sejumlah US$ 12,4 juta dengan Bank Aceptante tanpa persetujuan kantor besar dan tanpa membuat perjanjian kredit. Keputusan rapat Direksi Bapindo menyetujui UPP II untuk PT GSP dengan memberikan kredit sebagai berikut , pagu kredit sebanyak Rp. 249,4 Milyar, dan upaya pembiayan sindikasi dengan bank lain, serta ketentuan dan syarat sesuai dengan laporan perkembangan proyek (LPP).
Lama-kelamaan, karena proyek belum menunjukkan penanganan yang signifikan, banyak pihak yang curiga akan adanya aksi korupsi di balik proyek ini. Mulai dari sinilah drama pengungkapan kasus Bapindo dimulai. Kasus Bapindo berawal dari sebuah gugatan yang diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia. Gubernur BI saat itu J. Soedrajad Djiwandono, di depan Komisi VI DPR RI mengakui bahwa telah terjadi penyaluran kredit secara illegal pada bank milik pemerintah. Namun, dia tidak mau menyebutkan nama bank tersebut yang merupakan taggungjawab pengawasannya, dan berjanji akan mengadakan pengawasan secara Yuridis. Pihak BI mengaku belum mendapatkan laporan terperinci mengenai praktek penyaluran kredit bank pemerintah kepada pengusaha yang selama ini disebut-sebut (Eddy Tansil).
Ahmad Baramuli yang merupakan anggota komisi VII mempertanyakan penyaluran kredit bank pemerintah kepada seorang pengusaha yang dinilai telah menyalahi prosedur, bahkan mengatakan bahwa ia telah menerima laporan dengan bukti yang kuat bahwa ada bank pemerintah yang menyalurkan kredit secara illegal[2]. Tetapi Bramuli tidak bersedia menyebut nama pengusaha yang mendapat kredit illegal maupun bank pemerintah yang menyalurkan. Namun, secara tertulis, ia hanya menyebutkan satu bank pemerintah dalam paket pertanyaan yang diajukan, yaitu Bapindo. Sehingga komisi VI memutuskan akan mengadakan Rapat dengar pendapat dengan Pihak Bapindo tanggal 9 Februari 1994.
Dalam Raker tersebut, Baramuli menyebutkan bahwa praktik penyaluran kredit yang dilakukan bank pemerintah itu hanya melibatkan seorang pengusaha dengan kredit sekitar Rp.1,3 Trilyun atau US$ 650 juta. Prosedurnya, dilakukan melalui pembukaan usance letter of Credit (L/C) sebesar US$ 430 Juta yang kemudai diubah menjadi red Clause Letter of Credit (L/C). Dana itu kemudian dicairkan oleh supplier di luar negeri. Baramuli juga mengungkapkan bahwa debitur dalam negeri yang mengambil kredit mega tersebut tidak memberikan jaminan yang cukup , dan barang- barang yang dibeli sampai saat ini belum tiba di Indonesia ( barang tersebut dibeli 2 tahun sebelumnya).[3]
Menteri Keuangan dan Gubernur BI menjelaskan persoalan dengan terperinci, DPR memita agar otoritas moneter melakukan tindakan tegas terhadap semua pejabat bank yang terbukti melakukan kolusi dengan menyarankan membentuk tim khusus yang bertugas menyidik tindak pidana dalam kasus semacam itu.
Direktur utama Bapindo ketika kredit mega Rp. 1,3 Trilyun disalurkan adalah Subekti Ismaun. Sementara Towil Heryonto, saat kasus ini muncul, masih menjabat sebagai salah satu direktur. Sebagai Drektur utama, Subekti mengakui bahwa telah terjadi perubahan letter Of Credit (L/C) dan Usance menjadi red Clause, sehingga dalam perhitungannya Bapindo tidak akan banyak mengeluarkan biaya (Cost).
Setelah komisi VII DPR RI berhasil mengungkap penyaluran kredit secara illegal oleh Bapindo, menteri keuangan Mar’ie Muhammad langsung memanggil Direktur utama Bapindo, Towil Heryoto, Dirjen Lembaga Keuangan Bambang Subianto, Dirjen Pembinaan BUMN Martiono Hadianto untuk datang ke kantornya di Lapangan Banteng. Mereka membahasa tentang masalah penyaluran kredit Bapindo. Beberapa bank pemerintah lainnya juga diperkirakan ikut berperan dalam masalah ini seperti BBD, BDN, BNI, BRI, dan Bank Exim kecuali BTN.
Kasus kredit illegal Rp. 1,3 Trilyun akhirnya terporos pada dua pihak : Bapindo sebagai penyalur kredit dan Bos Golden Key Group, Eddy Tansil sebagai penerima kredit. Eddy Tansil dan salah seorang komisarisnya , Koesnoe Achzan, kemudian resmi di cekal oleh pemerintah. Eddy Tansil kemudian diperiksa oleh Tim Kejaksaan Agung tentang jumlah asset yang dimiliki oleh Eddy Tansil, seperti pabrik yang berlokasi di Cilegon dan Bekasi Jawa Barat. Sementara Koesnoe Achzan masih ditetapkan sebagai saksi, tetapi tetap akan memiliki kemungkinan berubah status sebagai tersangka karena statusnya sebagai direktur yang bertanggung jawab kedalam maupun keluar perusahaan. Langkah ini belum membuahkan hasil yang signifikan karean kondisi fisik Eddy Tansil yang dilaporkan kurang sehat, dan pemberian izin dari kejaksaan Agung kepada Eddy Tansil untuk merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarga.
Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad memanggil seluruh komisaris bank-bank pemerintah untuk mempertegas kewenangan dewan komisaris bank-bank pemerintah. Hal ini bertujuan untuk memfungsikan secara maksimal peran dan tugas dewan komisaris, apalagi disertai dengan kasus Bapindo.
2.1.3 Proses Pemeriksaan Pihak-pihak terkait dalam Kasus Bapindo
Kasus Golden Key yang melibatkan katua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Sudomo, akhirnya dilaporkan kepada presiden Soeharto sebagai orang yang bertanggung jawab dalam memberikan referensi. Sudomo ketika masih menjabat sebagai Menko Polkam memberikan referensi kepada Eddy Tansil, Mantan Menteri Keuangan juga mengatakan hal yang sama bahwa dia pernah menerima surat dari Sudomo yang dibawa oleh Eddy Tansil. Tanggal 16 Februari 1994 pukul 18.00 WIB, Eddy Tansil ditahan setelah diperiksa oleh Kejaksaan Agung dengan alasan indikasi tindak korupsi. Selain Tansil, Orang nomor satu di Bapindo, Toeil Heryoto juga diperiksa hingga pukul 22.28 WIB. Ditempat terpisah, wakil cabang utama Bapindo, Maman Suparman juga ditetapkan menjadi tersangka resmi setelah terbukti pengotorisasi kredit Bapindo dan tuduhan korupsi dan ditahan di Rutan Salemba Jakarta. Maman Suparman ditahan karena menyetujui perubahan Usance L/C menjadi red Clause L/C, ketika Eddy menerima kredit sebesar US$ 430 Juta,[4]Maman Suparman menjabat sebagai wakil kepala cabang utama Bapindo Jakarta. Mantan direktur utama Bapindo, Subekti Ismaun, juga diperiksa oleh kejaksaan Agung untuk meminta kejelasan informasi aliran dana yang diberika kepada PT. Golden Key Group.
Kejaksaan agung kemudian membentuk tim khusus untuk mengatasi kredit bermasalah ini yang diketuai oleh A. Soetomo. Rekening bank tersangka dan pihak-pihak yang terkait dnegan kasus PT. Golden Key group diperiksa oleh tim khusus ini, beberapa nama direksi yang ikut diperiksa adalah Mantan Dirut Bapindo, Towil Heryoto, Sjahrizal yang menjabat sebagai Dirut BTN, dan Usman Bauti Staf ahli Bapindo. Semua pemeriksaan tersebut dilakukan menurut persetujuan Menteri Keuangan.
Pemeriksaan terhadap Eddy Tansil dilakukan secara bertahap, tetapi belum menemukan hasil yang pasti bagi keputusan kejaksaan Agung. Menteri keuangan saat itu, Mar’ie Muhammad menegaskan agar Bapindo harus tetap memenuhi kewajibannya di dalam dan luar negeri, dan tidak perlu melakukan pergantian pihak pengurus. Jadi, sekalipun sedang di dalam masalah dan gangguan, tetap diupayakan kinerja terhadap subjek yang lain tetap fokus, dan mengupayakan hingga akhir pelita VI, bank-bank pemerintah harus terus berkonsolidasi.
Setelah dilakukan pemeriksaan tersangka, tim delapan kejaksaan agung bergerak kelapangan yang dipimpin oleh A. Soetomo untuk menyita beberapa aset Golden Key. Dalam beberapa kali pemeriksaan, ada dugaan bahwa Eddy Tansil memalsukan aset yang dijaminkan kepada bank, luas tanah pabrik yang disodorkan olehh Eddy Tansil sebagai salah satu jaminan menggaet kredit dari Bapindo tidak sesuai dengan kenyataan. L/C yang dibuka oleh Bapindo untuk Eddy Tasil berjumlah US$ 430 juta, berarti ada US$ 189 juta yang ditangani oleh orang lain. Dalam proses penyitaan, tim dari kejaksaan Agung berhasil menyita beberapa dokumen penting Golden Key Group. Dari hasil penyitaan ini dapat ditemukan proyek-proyek apa saja yang sedang dikerjakan oleh Golden Key serta mencegah terjadinya pemindah tanganan aset-aset yang penting.
Seluruh kekayaan PT. Golden Key Group milik Addy Tansil akhirnya diblokir oleh pemerintah meliputi rekening GKG pada 10 Bank di Jakarta dan berbagai tanah milik GKG. Hingga kemudia, berbagai kalangan mulai mendesak agar kasus Golden Key Group milik Eddy tansil secepatnya diselesaikan, mulai dari pihak mahasiswa, presiden Soeharto, masyarakat umum, bahkan pihak keamanan.
Pemerintah kemudian mengganti direktur Utama Bapindo Towil Heryoto dengan Drs. Achmad Marzuki, S.H, salah seorang direktur Bapindo untuk sementara menggantikan fungsi yang selama ini ditangani oleh Towil. Langkah ini ditempuh untuk memperlancar pemeriksaan skandal kredit Rp. 1,3 trilyun yang melibatkan Eddy Tansil dan menjamin kelancaran kegiatan operasional Bapindo sehari-hari.
2.1.4 Para Tersangka yang Diringkus
1. Towil Heryoto
Orang nomor satu di Bapindo dinyatakan resmi sebagai tersangka dalam skandal kredit 1,3 Trilyun di Bapindo yang dikuncurkan kepada Eddy Tansil dan ditangkap tanggal 17 maret 1994 oleh Kejaksaan Agung langsung dari kediamannya sendiri.
2. Subekti Ismaun
Kejaksaan Agung juga membuat surat perintah penangkapan mantan Direktur Utama Bapindo,Subekti Ismaun. Surat penangkapan ditandangani langsung oleh Direktur Tindak Pidana Korupsi, Ismudjoko. Penangkapan di lakukan oleh Jaksa Kataren, dan Taslim Hasyim. Tetapi tidak ditemukan di tempat kediaman. Tim Kejaksaan Tinggi Yogyakarta kemudian melacak keberadaan Subekti Ismaun di Yogyakarta. Tanggal 18 Maret Subekti resmi ditangkap dan dimasukkan ke rumah Tahanan Kejaksaan Agung, satu ruangan dengan Towil Heryoto.
3. Eddy Tansil
Aktor paling berperan penting dalam kasus Bapindo, Eddy Tansil ditangkap lebih dahulu pada 16 Februari 1994. Eddy Tansil terbukti mengkorupsikan dana kredit 1,3 trilyun di Kejaksaan Agung.
Dengan divonisnya Eddy Tansil, setidaknya telah membuktikan bahwa pemerintah bisa menangani kasus korupsi meski penangannya lambat. Kasus ini menjadi pintu pembuka untuk kasus lainnya karena setelah kasus kredit 1,3 trilyun, kasus kredit di bank pemerintah juga dikabarkan jumlahnya menggunung. Dampaknya adalah terhadap para pejabat generasi kabinet berikutnya yang harus menanggung penyelesaian kasus kredit yang besar tersebut sehingga terkesan lamban. Kesan lamban diakibatkan generasi kabinet baru harus mencari sumber kasus yang akurat, menggali kerja sama kembali dengan kejaksaan, terlibat menjadi saksi, bahkan menjadi tersangka merupakan resiko yang ditanggung mereka.
Terungkapnya kasus manipulasi kredit Bapindo pada PT Golden Key Group (GK) dan jawaban pers Sudomo dan Sumarlin memberikan dua indikasi. Yakni, rapuhnya kondisi ekonomi nasional dan citra negara kita yang bak sebuah banana republic. Raibnya dokumen persetujuan Direksi Bapindo atas perubahan L/C GK secara tiba-tiba kian membuat bank itu mencerminkan buruknya moral personel maupun administrasinya. Menghilangkan dokumen bank diancam Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Rangkaian kejadian itu memperkuat dugaan tentang meluasnya korupsi, kolusi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan kondisi sistem keuangan dan kualitas pimpinan bank hingga tingkat lembaga tinggi negara seperti itu, sulit dibayangkan Indonesia dapat lepas landas mulai 1 April 1994.
Pertumbuhan ekonomi, yang direncanakan rata-rata 6,2% setahun selama Pelita VI, memerlukan investasi, dan investasi memerlukan dana. Pembelanjaan investasi kian sulit karena secara teknis bank negara bisa dikatakan sudah bangkrut. Bagaimana menghitung bahwa bank negara bangkrut? Jumlah kredit macet yang dapat ditarik kembali diasumsikan hanya Rp 8,1 triliun, atau hanya 30% dari jumlah kredit bermasalah yang Rp 26,7 triliun (US$ 13,3 miliar) itu, pada posisi September 1993. Rendahnya tingkat pengembalian kredit merupakan akibat berbagai hal: tingginya komisi untuk memperoleh kredit, mahalnya biaya pengurusan surat izin investasi proyek, adanya penggunaan kredit bagi keperluan lain, dan mahalnya biaya penarikan kembali kredit bermasalah.
Bila diasumsikan rata-rata tiap bank negara memiliki jumlah modal (modal disetor, cadangan, keuntungan, dan pinjaman subordinasi) tahun 1993 sebesar Rp 1 triliun, jumlah modal kelompok bank negara (Rp 7 triliun) kurang dari separuh jumlah potensi kerugian karena kredit macetnya (Rp 18,6 triliun atau US$ 9,3 miliar). Secara makro, besarnya kredit bermasalah bank negara itu merupakan beban amat berat bagi ekonomi nasional: 10% dari PDB 1993 atau 37% dari jumlah APBN 1994-’95.
Sementara itu, keadaan yang dihadapi ekonomi nasional saat ini akibat bangkrutnya bank negara, situasinya agaknya lebih sulit dari ketika terjadi krisis Pertamina (1975), maupun dampak yendaka tahun 1985-’87. Ketika pecah krisis Pertamina, harga migas masih cenderung naik, dan dunia masih takut terhadap ancaman embargo dari negara produsen. Jepang, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Dunia waktu itu masih mampu mengurangi beban pembayaran utang luar negeri Indonesia akibat yendaka dengan memberi pinjaman khusus bersyarat lunak. Dewasa ini, prospek harga migas cenderung turun,kemampuan negara donor untuk membantu Indonesia tak lagi sebesar dulu. Ini tercermin dalam Sidang CGI di Paris, Juli 1993. Pemberian pinjaman kian dikaitkan dengan faktor nonekonomis: tertib pemerintahan (governance), demokratisasi, hak asasi manusia, dan pemeliharaan lingkungan hidup. Di dalam negeri, kebangkrutan bank negara menyebabkan stagnasi ekspansi kredit mereka. Stagnasi itu bersifat regresif: lebih banyak mengurangi kredit pada pengusaha menengah dan kecil. Ini akan memperlebar kesenjangan distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Di luar negeri, dunia enggan melakukan transaksi dengan bank negara dan perusahaan nasional kita. Ini, antara lain, tercermin dari rendahnya rating perekonomian Indonesia di pasar dunia, sulitnya mendapatkan kredit, dan meningkatnya spread yang berlaku bagi perusahaan kita.
Diperlukan banyak uang, energi, dan waktu untuk membangun kembali bank negara yang sudah keropos. Ini bukan sekadar masalah suntikan dana. Tanpa adanya perubahan, orientasi, organisasi, personalia, kultur perusahaan, dan cara kerja internal, suntikan dana tak akan ada manfaatnya. Jika taksiran Menteri Mar’ie bisa terwujud, yakni krisis bank negara dapat diselesaikan dalam masa Pelita VI, bolehlah kita syukuran potong kambing. Selama ini bank negara menamakan dirinya sebagai “pelaku pembangunan” — dengan pengertian yang disalahgunakan. Yang mereka artikan sebagai pelaku pembangunan saat ini tak banyak berbeda dari kegiatan kas negara: menyalurkan dana negara pada sektor ekonomi, dan penerima yang telah diidentifikasikan oleh Pemerintah dengan syarat yang ditentukan oleh Pemerintah pula. Padahal, menurut pengertian sebenarnya, pelaku pembangunan harus memberikan sumbangan positif dalam meningkatkan: (a) mobilisasi tabungan nasional (dalam rupiah dan devisa) (b) efisiensi alokasi penggunaan faktor produksi yang amat langka dan (c) penumbuhan kewiraswastaan. Kenyataannya, tak satu pun bank negara yang telah memberikan sumbangan positif dalam ketiga aspek tersebut. Orientasi dan kultur bank negara yang birokratis perlu diubah menjadi orientasi dan kultur badan usaha komersial. Sesuai perubahan itu, standar kriteria penilaiannya juga perlu diganti: diukur berdasarkan kriteria yang berlaku bagi bank swasta, yakni berdasarkan patokan objektif yang dapat diukur dalam satuan mata uang. Juga perlu ditelusuri sumber untung- rugi usaha itu. Keuntungan yang bersumber dari kegiatan pemangsa rente, misalnya fee karena menyalurkan uang negara, bukanlah keuntungan yang menggembirakan. Sebagaimana dalam peperangan, cara menang atau kalah sama pentingnya dengan kemenangan atau kekalahan itu sendiri. Walaupun kalah dalam pertempuran di Afrika Utara pada Perang Dunia II, Jenderal Rommel tetap dihormati oleh kawan dan lawan. Adapun tugas nonkomersial seyogianya juga dapat diukur dalam satuan mata uang. Sementara perlunya perubahan struktur organisasi adalah untuk memotong kaitan bank negara dari birokrasi pemerintahan.
Kasus kredit macet memberikan indikasi bahwa perubahan status hukum bank negara menjadi PT, setelah berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, baru mengubah kulit. Bank negara belum mandiri dalam arti yang sebenarnya. Dalam keadaan seperti itu, dengan orientasi yang belum berubah, memo Sudomo, yang diperkuat oleh Sumarlin, amatlah sakti dan ikut menyeleksi nasabah di lingkungan bank negara. Sebab, direksi bank negara diangkat oleh Menteri Keuangan, dan surat keterangan dari pihak sekuriti, seperti Menko Polkam, sangat menentukan dalam pengangkatan tersebut. Boleh dianggap memo-memo itu bak “jimat”. Dewasa ini, pemilihan personel pimpinan komisaris maupun eksekutif perusahaan dan bank negara mulai mengarah pada hal yang kurang sehat. Orang mendapatkan pekerjaan lebih karena pertimbangan koneksi dan kualifikasi politis daripada kemampuan profesional teknis. Perusahaan negara dijadikan sumber penerimaan nonanggaran, setidaknya sebagai suplemen gaji, bagi pejabat departemen teknis yang membawahkannya.
Menjawab pertanyaan pers, Sumarlin mengatakan fungsinya sebagai Komisaris Utama Bapindo hanya terbatas pada pengawasan pelaksanaan anggaran yang telah disetujui oleh Departemen Keuangan yang dipimpinnya. Kalau memang hanya demikian, sopirnya pun sudah memenuhi persyaratan untuk menjadi komisaris utama bank negara. Jawaban itu bertentangan dengan tugas dan tanggung jawab komisaris bank yang disebut dalam UU No. 7 Tahun 1992, yang dikonsepnya sendiri.
Dari kasus GK, ternyata operasi Bapindo tak banyak berbeda dari PT Bank Summa. Proses seleksi nasabah sangat lemah pada kedua bank itu. Administrasi kredit dan agunannya serta pengawasan kreditnya amburadul. Keterangan Tommy Soeharto memberikan indikasi bahwa nilai buku proyek yang diagunkan oleh GK dua kali lipat dari harga pasar yang berlaku. Kelemahan juga tercermin dari kemampuan Bapindo menagih kembali pokok dan bunga kreditnya. Liberalisasi di sektor keuangan selama ini cuma menyangkut pembukaan pintu masuk pasar, dan aturan yang menyangkut kegiatan lembaga keuangan. Di pihak lain, aturan yang berhati- hati untuk memelihara kesehatan sistem keuangan itu justru diperketat. Perangkat hukum dan akuntasi merupakan bagian penting dari infrastuktur pasar. Pasar baru efisien dan mewujudkan pemerataan jika ada infrastrukturnya yang memadai. Aturan yang makin ketat tak ada artinya jika tak diimplementasikan. Implementasi aturan yang lemah dan sistem akuntansi yang tak bisa dipercayai, menyebabkan lemahnya infrastruktur pasar. Dalam kaitan ini diperlukan peningkatan kemampuan maupun ketegasan BI untuk mengadministrasikan aturan itu. Rentetan kasus kebangkrutan bank, baik sebelum maupun setelah deregulasi, menggambarkan rendahnya mutu pemeriksaan dan pengawasan bank oleh BI. Hal terakhir yang diperlukan oleh bank negara untuk memulihkan kegiatannya adalah menambah modal.
Sebagaimana diuraikan di atas, karena secara teknis sudah bangkrut, bank negara tidak memenuhi syarat untuk menjual saham di bursa efek. Karena itu, tambahan modal dari sumber lain perlu diupayakan. Di bulan November 1992, Bank Dunia cuma bisa meminjami US$ 307 juta kepada Pemerintah RI, guna memperkuat modal bank-bank negara. Jumlah ini jauh di bawah modal sumbangan yang disuntikkan ke dalam PT Bank Duta sebesar US$ 350 juta, September 1990. Barangkali baru Bank Duta satu-satunya bank dalam sejarah dunia yang pernah mendapatkan modal sumbangan. Dewasa ini, inventarisasi dan penyelesaian kredit bermasalah bank negara dilakukan sendiri oleh pimpinan Departemen Keuangan dan BI, bersama direksi bank bersangkutan. Akibatnya, sering mereka pulang ke rumah di waktu sahur. Hal seperti ini tidak sehat. Seperti dalam bencana gabungan antara gempa dan kebakaran rumah, tugas seperti itu hanya menginventarisasi kerugian, menyelamatkan yang masih dapat diselamatkan, dan melihat apakah pertapakannya masih layak.
Tugas pokok Menkeu dan Gubernur BI adalah menyiapkan pembangunan dalam menyongsong Pelita VI. Pimpinan bank negara harus tetap melayani nasabah yang lain, mencari uang untuk menghasilkan laba, dan mengendalikan banknya dalam menyongsong masa depan. Kian banyak waktu digunakan untuk rapat dengan DPR, menjawab pertanyaan jaksa penyidik, dan menghindari kejaran wartawan, kian sedikit waktu tersisa untuk berusaha. Padahal tugas pengendalian ekonomi dan komersial tak bisa didelegasikan ataupun dikontrakkan pada orang lain. Sebaiknya, tugas untuk menyelesaikan kredit bermasalah bank negara diserahkan pada suatu badan khusus, swasta atau pemerintah, atau campuran keduanya. Badan ini menginventarisasi kredit bermasalah, menagih, dan memperkarakan, dan menjual agunannya. Sebab terbatasnya tenaga profesional, anggaran, dan gaji, tugas penyelesaian kredit macet tidak cukup diserahkan kepada BPULN dan penegak hukum saja.
Penyelesaian masalah itu memerlukan tenaga hukum komersial yang piawai, akuntan yang terpercaya, ahli ilmu keuangan yang cerdik, ahli penilai yang tajam, dan konsultan makro maupun sektoral yang berpengalaman. Di Cili, badan khusus yang mengambil alih kredit bermasalah dibelanjai dengan penjualan obligasi Pemerintah. Di Jepang, badan seperti itu didirikan secara patungan oleh bank-bank swasta. Di negara lain, kredit bermasalah diurus oleh bank yang bersangkutan itu sendiri. Penagihan kredit macet bank negara akan berantai dampaknya dalam Pelita VI.
Pada gilirannya, ini akan menyebabkan resesi, setidaknya di berbagai sektor ekonomi terkait. Sebagian barang agunan kredit terpaksa dijual obral untuk mendapatkan uang tunai secepatnya, dan menghindari kerugian lebih besar. Harga obral jelas di bawah harga pasar dan, tergantung tingkat mark up, jauh di bawah harga buku. Salah satu korban yang sudah pasti adalah perusahaan yang bergerak dalam industri pertanahan (perumahan, perhotelan, bangunan komersial, kawasan industri, dan lapangan golf).
2.2 Bank Summa
2.2.1 Menyusul Sang Ayah
INGAT likuidasi bankd, pasti teringat pada kasus likuidasi Bank Summa. “Tragedi” berat yang menimpa bank milik keluarga Soeryadjaya itu meninggalkan trauma mendalam bagi nasabah dan juga dunia perbankan. Kini, dunia perbankan sedang berharap-harap cemas menunggu International Monetary Fund (IMF) — yang tengah berunding dengan pejabat moneter Indonesia di Jakarta — yang diduga akan mensyaratkan likuidasi sejumlah bank, sebelum menyetujui membantu krisis moneter Indonesia.
Kasus Bank Summa adalah contoh paling baik dari sisi buruk deregulasi perbankan tahun 1988, yang kerap disebut Pakto 1988. Industri perbankan menjamur, dan itu dibarengi penyaluran kredit dalam bilangan “raksasa”, yang kadang-kadang mengabaikan prinsip-prinsip bisnis yang sehat. Tak kurang pula bank membiayai kelompok usahanya sendiri. Puncak semua itu tahun 1992, ketika meledak kasus kredit macet Bank Summa sejumlah Rp 1,4 triliun.
Ketika itu Edward Soeryadjaya, putra sulung Williem Soeryadjaya, pendiri Astra dan orang nomor dua terkaya di Indonesia saat itu (1992), berniat “membalap” sang ayah. Ia menggunakan jalur cepat. Edward mulai dengan mendirikan Summa Internasional Bank Ltd. tahun 1979 di Port Vila, Vanuatu, dengan modal 25 juta dollar AS. Setahun kemudian ia membidik HongKong, dan dari sana Edward melanglang ke Jerman.
Tiga tahun kemudian, Edward berpatungan dengan pengusaha HongKong melebarkan sayapnya ke Indonesia, dengan mendirikan Summa International Finance Co. Ltd. (kemudian menjadi Indover Summa Finance, usaha patungan dengan anak perusahaan Bank Indonesia, Indover). Bisnis Edward maju pesat. Ia memborong saham sejumlah perusahaan besar, seperti Bank Asia, yang kemudian namanya menjadi Bank Summa. Selain itu, ia ikut memiliki Bandung Indah Plaza, Hotel Mirama (Surabaya), Hotel Sabang (Jakarta), dan berbagai macam bisnis properti dan keuangan. Edward juga dikenal “murah hati” karena memodali bisnis teman-temannya.
2.2.2 Memburuknya Kesehatan Bank Summa
Darimana dana Edward itu? Tak sulit ditebak: dari Bank Summa. Banyaknya tak diketahui pasti. Tapi, yang jelas saat itu diketahui aset Bank Summa mencapai Rp 1,2 triliun.
Akibatnya pasti: kesulitan likuiditas. Tatkala pemerintah memberlakukan kebijakan uang ketat (1990), makin tercekiklah Bank Summa. Tiga bulan kemudian dikabarkan Summa benar-benar mengalami krisis keuangan yang hanya bisa diatasi dengan suntikan dana segar. Tapi Williem Soeryadjaya tidak melakukannya. Dia mengirimkan pasukan penyelamat dari Astra, perusahaan miliknya. Konon sampai tiga kali ia gonta-ganti tim penyelamat, tapi Bank Summa tetap merana. Pada Juni 1992, Williem mengambilalih 100 persen saham Bank Summa.
Toh kesehatan Summa tetap memburuk. Kewajibannya ditaksir mencapai Rp 1,7 triliun. Tak lama kemudian Williem pun menjaminkan seratus juta lembar saham Astra Internasional senilai Rp 500 miliar kepada Bapindo, Bank Exim, dan Bank Danamon, untuk menyuntik Summa. Jumlah itu masih ditambah Rp 380 milyar dari BDN dan Bank Universal. Kabarnya Panin Bank juga menyuntikan sekitar Rp 250 miliar, meski pemilik Panin membantah kabar ini. Sebelum itu, Bank Indonesia juga sudah memberi pinjaman discount window kepada Bank Summa sebesar Rp 200 miliar lewat Indover.
Tetap saja Summa “terjun ke jurang”. Terpaksalah Willem meminta jasa Mu’min Ali dari Bank Panin untuk memberikan konsultasi manajemen. Tapi, sinyal dari pemerintah bahwa Bank Summa akan dilikuidasi makin jelas terdengar. Williem masih berupaya mempertahankan dengan segala cara, temasuk menghimpun dana dari aset-aset keluarga. Bahkan, Gubernur BI Adrianus Mooy waktu itu ikut turun tangan. Langkah pengamanan lainnya: menyuntikkan lagi tambahan dana segar sebesar Rp 500 miliar dari Chase Manhattan Bank. Om Williem – begitu pendiri Astra itu dipanggil – juga meneken kontrak penyelamatan dengan 30 pengusaha dari group Prasetya Mulya. Toh dana raksasa itu tetap amblas mengingat banyaknya utang yang ditinggalkan Edward.
Vonis pun jatuh pada tanggal 14 Desember 1992: Bank Summa dilikuidasi pemerintah berdasarkan UU Perbankan 1992.
Itu bukan akhir, tapi awal sebuah “bencana” baru bagi keluarga Soeryadjaya. Nasabah yang sudah hilang kepercayaan menarik seluruh dana yang mereka simpan, walau ada anjuran untuk meneruskan kegiatan di BCA atau Bank Danamon. Repotnya, dana segar tak tersedia. Willem sudah menjaminkan 108 juta lembar saham Astra. Dari situ diperoleh sekitar Rp 1 triliun. Separuhnya, dipakai untuk menutup utang Summa kepada Bank Exim, Bapindo, Danamon. Sisanya untuk mengembalikan uang para deposan.
Toh urusan makin kusut. Deposan ramai-ramai menuntut haknya. Sementara itu, Prof. Soemitro Djojohadikusumo yang bersedia menjadi “penengah” di Astra — yang juga kena imbas kasus Summa itu — akhirnya mengundurkan diri. Pak Cum, pangggilan akrab Prof. Soemitro, yang menjabat Presiden komisaris Astra, merasa ada yang tak beres di sana. Ia tak pernah diajak berunding sampai akhirnya Prayogo Pangestu, pengusaha grup Barito itu, membeli saham mayoritas Astra.
Astra yang menjadi andalan Willem untuk membayar kewajiban Summa, membuahkan demonstrasi besar nasabah yang menuntut haknya. Belum lagi urusan PHK sekitar 2300 karyawan Summa yang tentu membutuhkan dana tak kecil.
2.2.3 Upaya Menyelamatkan Bank Summa
Dibentuklah Tim Likuidasi Bank Summa. Dan tim itu menentukan prioritas mana dari kewajiban Summa yang harus segera diselesaikan. Rupanya, pajak pemerintah menjadi prioritas pertama. Baru kemudian pesangon karyawan dan para kreditur. Ternyata, kreditur kecil yang punya uang di Summa sekitar Rp 10 juta, termasuk prioritas paling bawah, padahal jumlah mereka sekitar 9000 orang. Itu pun masih pakai syarat: jika aset Summa terjual hanya 50 persen, maka nasabah kecil itu hanya akan dibayar 50 persen dari deposito atau tabungannya.
Banyak pihak yang dikabarkan akan membeli aset Summa. Di antaranya penyanyi pop Rinto Harahap yang “maju” dengan bendera grupnya Siti Hardijanti Rukmana alias Mbak Tutut. Tapi Rinto belakangan urung membeli Summa. Berbagai pihak yang juga mendekati Summa tak kunjung membuahkan hasil.
Itulah yang memicu ketidakpuasan. Pada Mei 1993, lima bulan setelah likuidasi, nasabah membentuk Tim Perwakilan Nasabah. Pada bulan itu juga Om Willem menulis surat. Isinya, meminta nasabah sabar menunggu pelunasan dari Bank Summa. Sebagai pelipur lara, nasabah tetap dijanjikan bunga – sesuatu yang tak kunjung terjadi pada akhirnya.
Urusan panjang itu sempat mengakibatkan rumah Om Willem didemonstrasi. Para nasabah yang marah membawa peti mati dan meletakkannya tepat di pintu depan rumah Willem. Urusan baru usai pada bulan Oktober 1993, itupun nasabah tak mendapatkan uang simpanannya dengan utuh.
Kasus bangkrutnya Bank Summa (1992), yang membuat keluarga Soeryadjaya harus kehilangan Astra, menjadi pelajaran berharga baginya. Kisah Bank Summa dan Astra, tampaknya, bukan hanya catatan sejarah saja bagi Edwin. Karena kasus ini, konon, hubungan Edwin dan sang kakak Edward Soeryadjaya kurang harmonis. Maklum saja, saat itu Bank Summa dikelola dan dikendalikan oleh Edward. Karena pengelolaan bank yang tidak baik, seluruh keluarga Soeryadjaya harus menanggung risikonya.
Saat itu, menurut Edwin, keluarga Soeryadjaya merasa dihempaskan dari gedung bertingkat yang sangat tinggi. “Saat itu kami mengira, kami sudah mati,” katanya. Namun peristiwa itu tak membuat Edwin putus asa. Bersama Saratoga, kini Edwin sukses berbisnis dalam berbagai bidang. Mulai dari pertambangan, perkebunan, perdagangan, properti hingga manufaktur.
2.3 Bank Century
2.3.1 Masa Akuisisi dan Merger Yang Janggal
Bank Century adalah hasil merger tiga bank yaitu Bank Pikko, Bank Danpac, dan Bank CIC. Merger ketiga bank tersebut didahului dengan adanya akuisisi Chinkara Capital Ltd (Chinkara) terhadap Bank Danpac dan Bank Pikko, serta kepemilikan saham Bank CIC. Chinkara adalah sebuah perusahaan yang berdomisili di Kepulauan Bahama. Pemegang saham mayoritas Chinkara adalah RAR.
Persetujuan prinsip atas akuisisi diputuskan dalam RDG BI pada 27 November 2001. Persetujuan akuisisi diberikan Bank Indonesia meski Chinkara tidak memenuhi persyaratan administratif berupa publikasi atas akuisisi oleh Chinkara, laporan keuangan Chinkara untuk tiga tahun terakhir, dan rekomendasi pihak berwenang di negara asal Chinkara. RDG BI juga mensyaratkan agar ketiga bank tersebut melakukan merger, memperbaiki kondisi bank, mencegah terulangnya tindakan melawan hukum, serta mencapai dan mempertahankan CAR 8%.
Izin akuisisi pada akhirnya diberikan pada 5 Juli 2002 meski dari hasil pemeriksaan BI terdapat indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank CIC. BI tetap melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut meski berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode tahun 2001 hingga 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank tersebut. Diantaranya adalah Pada Bank CIC, terdapat transaksi SSB fiktif senilai USD25 juta yang melibatkan Chinkara dan terdapat beberapa SSB yang berisiko tinggi sehingga bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang berakibat CAR menjadi negatif, serta pembayaran kewajiban general sales management 102 (GSM 102) dan penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam jumlah besar yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, serta pelanggaran PDN.
Izin akuisisi pada akhirnya diberikan pada 5 Juli 2002 meski dari hasil pemeriksaan BI terdapat indikasi adanya perbuatan melawan hukum yang melibatkan Chinkara pada Bank CIC. BI tetap melanjutkan proses merger atas ketiga bank tersebut meski berdasarkan hasil pemeriksaan BI periode tahun 2001 hingga 2003 ditemukan adanya pelanggaran signifikan oleh ketiga bank tersebut. Diantaranya adalah Pada Bank CIC, terdapat transaksi SSB fiktif senilai USD25 juta yang melibatkan Chinkara dan terdapat beberapa SSB yang berisiko tinggi sehingga bank wajib membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang berakibat CAR menjadi negatif, serta pembayaran kewajiban general sales management 102 (GSM 102) dan penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam jumlah besar yang mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, serta pelanggaran PDN.
Selanjutnya pada Bank Pikko,terdapat kredit kepada Texmaco yang dikategorikan macet dan selanjutnya ditukarkan dengan medium term notes (MTN) Dresdner Bank yang tidak memiliki notes rating, sehingga bank wajib membentuk PPAP yang berakibat CAR menjadi negatif. Proses akuisisi seharusnya dapat dibatalkan jika mengacu pada persyaratan yang ditentukan oleh BI dalam persetujuan akuisisi tanggal 5 Juli 2002.
Persyaratan tersebut antara lain, apabila berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Bank CIC terbukti bahwa Chinkara sebagai pemegang saham bank melakukan pelanggaran terhadap ketentuan perundang- undangan atau dinyatakan “tidak lulus”dalam penilaian fit and propper test.[5]Pada akhirnya tim pemeriksa Bank Indonesia ditarik ditengah pemeriksaan atas CIC yang berada dalam pengawasan khusus. Diduga langkah ini dilakukan untuk menutupi masalah CIC demi memuluskan proses merger. Akhirnya Bank Indonesia menyetujui merger Pikko, Danpac dan CIC pada 6 Desember 2004 yang kemudian menjadi Bank Century.[6]
2.3.2 Investasi Bodong dan Masalah Likuiditas, Solvabilitas dan Profitabilitas.
Bermula dari para nasabah PT. Bank Century yang menempatkan dana dalam bentuk deposito pada Bank Century dengan jangka waktu 1-6 bulan. Kemudian ada penawaran dari Bank Century tentang produk yang lebih menguntungkan berupa reksadana PT. Antaboga Delta Securitas yang merupakan satu holding company dengan Bank Century. Iming-iming Bank Century atas produk reksadana PT. Antaboga Delta Securitas tersebut dengan cara meyakinkan nasabah bahwa bunga reksadana dimaksud jauh lebih tinggi dari bunga deposito, pemilik PT.
Antaboga Delta Securitas adalah pemegang saham Bank Century sehingga akan dijamin aman, produk reksadana tersebut sudah dipasarkan dalam jangka waktu yang lama dan Bank Indonesia telah mengetahuinya. Oleh karena iming-iming itulah, maka para nasabah Bank Century tersebut beramai-ramai memindahkan dana mereka yang awalnya berupa deposito, sekarang diinvestasikan di reksadana PT. Antaboga Delta Sekuritas. Namun, ternyata pada saat jatuh tempo, dana para nasabah tersebut tidak dapat dicairkan. Menurut Kepala Bapepam LK, Fuad Rahmany, terkait kasus PT. Antaboga Deltasekuritas Indonesia yang mengalihkan dana nasabah Bank Century senilai Rp.400.000.000.000,- (empat ratus milyard) ke dalam pengelolaan dana (discretionary fund). Bapepam LK, tidak pernah mengeluarkan izin untuk produk reksadana yang dikeluarkan PT. Antaboga. Kalaupun ada yang membeli produk tersebut, berarti dia terkena aksi penipuan. Kasus ini oleh dianggap sebagai pelanggaran terhadap ketentuan pasal 50 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan.[7]
29 Desember 2005 Bank Century dinyatakan sebagai Bank dalam pengawasan Intensif karena SSB valuta asing dan penyaluran kredit yang berpotensi menimbulkan masalah. Status ini bertahan hingga 6 November 2008 dan Bank Century dinyatakan sebagai bank dalam pengawasan khusus. 15 September, Lehman Brothers (bank investasi terbesar ketiga di Amerika Serikat) bangkrut. Kepanikan besar terjadi di Wall Street dan seluruh dunia, terutama para pemegang surat berharga di bursa efek. Mayoritas pelaku bursa menjual sahamnya dengan diskon besar karena takut dikemudian hari harganya lebih turun lagi. Untuk menekan dampak krisis global, pemerintah menaikan penjaminan pemerintah atas tabungan masyarakat di perbankan dari 100 juta menjadi Rp. 2 miliar.
Pada 15 Oktober 2008 Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) no. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Perpu JPSK ini menjadi dasar hukum pembentukan Komisi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang kemudian menyatakan Bank Century sebagai Bank gagal berdampak sistemik dan menyerahkan penanganannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan.[8]
Kalau dilihat lebih lanjut, memang biasanya terungkap apa saja yang menjadikan modal bank tersebut menjadi negative, yaitu faktor utamanya adalah besarnya kredit macet dan ini mungkin menyangkut kredit kapada grupnya, mungkin juga tidak. Apabila ada bank yang posisi networthnya sudah negative, Bank Indonesia sudah harus memberikan warning yang sangat keras dan melakukan pengawasan yang sangat ketat, karena setiap bank yang sudah sampai pada posisi negative, bank tersebut akan selalu mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Penutupan bank yang sudah posisi networthnya negative lebih cepat sangat lebih baik, karena jika diulur waktu akan semakin memberatkan keadaan bank yang bersangkutan, dan akan memberikan kepada pengelola dan pemilik bank untuk menyelamatkan kepentingan mereka bukan lagi menyelamatkan bank tersebut, karena pasti sudah sulit mereka lakukan.[9]
2.3.3 Kontoversi Pendanaan Dalam Penyelamatan Bank Century
Menurut data yang kami himpun dari berbagai sumber, skandal sudah tercium sejak 13 November 2008, dimana saat itu Bank Century mengalami gagal wiring. Kemudiansaham BCIC disuspen oleh otoritas Bursa. Dan pada tanggal 24 November 2008, BCIC kemudian di takeover oleh pemerintah melalui LPS. Dalam proses penyelamatan tersebut, diperkirakan ada sekitar empat kali suntikan dana dari LPS ke Bank Century.
Pertama, pada tanggal 23 November 2008 senilai Rp. 2, 776 Triliun (modal yang digunakan untuk mengembalikan rasio kecukupan modal/CAR Bank Century dari Negative 3,53% menjadi 8%). Kedua, pada 5 Desember 2008 senilai Rp 2,201 triliun. Ketiga pada 3 Februari 2009 sebesar Rp 1,155 triliun untuk menutupi kekurangan CAR berdasarkan hasil perhitungan BI. Keempat, pada 21 Juli 2009 senilai Rp 630 miliar.
Dengan demikian, total suntikan dana yang dikucurkan LPS mencapai Rp 6, 762 triliun. Dengan total dana yang sudah dikucurkan tersebut, terdapat potensi kerugian besar Rp 4,72 triliun hingga Rp 5,22 triliun. Nilai kerugian ini dimungkinkan karena harga jual saham Bank century saat didivestasi tahun 2011 diperkirakan Rp 1,5-2 triliun.
Dalam situasi ekonomi yang sedang berbenah, serta masalah rentetan manipulasi di tingkat kelembagaan, masyarakat kemudian banyak mempertanyakan soal penting atau tidaknya menggelontorkan dana talangan, dengan alasan teknis dan dampak sistemik yang akan ditimbulkan bila bank ini tidak diselamatkan. Masalah ini menjadi bola panas, hingga menyeret pemerintah karena mau tak mau tetap bertaut erat dengan kasus ini, terutama pihak Bank Indonesia, serta lembaga lain yang terkait didalamnya. Sehingga bola panas ini kian menggelinding liar.[10]
Ada dugaan, pada 14 November 2008, ketika Bank Indonesia menguncurkan fasilitas pendanaan jangka pendek senilai Rp 689,4 miliar kepada Century yang likuiditasnya sedang ambruk, dana terseut justru mengalir kesejumlah rekening yang berkaitan dengan keluarga Tntular. Dengan modus penggunaan “rekening tidur” nasabah lewat pemalsuan data simpanan agar dapat dicairkan oleh pemilik bank. Atau, dengan cara memecah rekening beberapa perusahaan yang berhubungan dengan Robert Tantular agar dana bisa dicairkan.
Hal lain yang patut dicermati adalah pengucuran dana Century diduga terkait pemilu 2009. Ada semacam konspirasi diantara pejabat pemerintahan untuk memanfaatkan dana talangan Bank Century untuk belanja politik. Jika dilihat dari kronologi kejadiannya, sangat mungkin benar. Waktu dana talangan dikucurkan, antara November 2008-Juli 2009, partai-partai politik tengah berada dipuncak aktivitas: Pemilu legislatif (April 2009) dan Pemilu Presiden (Juni 2009), dua pesta demokrasi yang membutuhkan dana besar.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyatakan, dari enam periode penarikan dana talangan, paling besar terjadi pada periode kelima (antara 4 Februari-23Juli 2009), yakni sebesar Rp 5 triliun. Kembali saat persiapan dan pelaksanaan pemilu, bail legislatif maupun presiden. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga memiliki data yang berisi catatan seorang nasabah Bank Century yang mendapat kemudahan pencairan dana dalam jumlah besar ternyata menjadi penyumbang terbesar salah satu pasangan capres-cawapres.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melihat ke belakang, kronologi kejatuhan Bank Century yang teridentifikasi di media adalah sebagai berikut:
– Tanggal 13 November 2008, Bank Century mengalami gagal kliring, yang kemudian dilanjutkan dengan disuspennya saham bank tersebut oleh otoritas bursa. Dalam hal kegagalan kliring ini, Gubernur Bank Indonesia saat itu bahwa kegagalan Kliring tersebut adalah disebabkan oleh faktor teknis berupa keterlambatan penyetoran prefund. Yang selanjutnya disebutkan bahwa kondisi perbankan saat itu adalah mantap dan stabil serta mampu memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat.
– Tanggal 14 November 2008, Bank Century sudah bisa mengikuti kliring kembali.
– Tanggal 24 November 2009, Bank Century ditake-over oleh pemerintah melalui LPS.
DAFTAR PUSTAKA
Megawati, Sri. Kronologi Kasus Bank Century. Artikel yang diterbitkan pada selasa 23 Februari 2010.
Maeswara, Garda. Opera Van Century: Kunci Rahasia di Balik Skandal Bank Century.Yogyakarta: Media Pressindo, 2010.
Sudiman Sidabukke. Kasus Bank Century Dalam Konstruksi Hukum Perdata. Halaman 3. Jurnal yang diterbitkan pada 29 Maret 2011
Aloysius Soni BL de Rosari. Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha.(Jakarta: Kompas, 2010)
Sahrasad, Herdi. Centurygate: Refleksi Ekonomi-Politik Skandal Bank Century. (Tanpa Kota: LKIS, 2009)
Majidi, Nasyith. Mega Skandal Drama Pembobolan dan Kolusi Bapindo (Bandung : Penerbit Mizan, 1994).
http//www.Jhonmiduk8.blogspot.com
[1] Nasyith Majidi. Mega Skandal Drama Pembobolan dan Kolusi Bapindo (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), hal 21.
[2] Ibid, hal 31
[3] Ibid, hal 32
[4] Ibid, hal 62
[5] Sri Megawati. Kronologi Kasus Bank Century. Artikel yang diterbitkan pada Selasa 23 Februari 2010.
[6] Garda Maeswara. Opera Van Century: Kunci Rahasia di Balik Skandal Bank Century (Yogyakarta: Media Pressindo, 2010) Hlm. 71
[7] Sudiman Sidabukke. Kasus Bank Century Dalam Konstruksi Hukum Perdata. Halaman 3. Jurnal yang diterbitkan pada 29 Maret 2011
[8] Aloysius Soni BL de Rosari. Centurygate: Mengurai Konspirasi Penguasa-Pengusaha.(Jakarta: Kompas, 2010) Hlm. 325
[9] Herdi Sahrasad. Centurygate: Refleksi Ekonomi-Politik Skandal Bank Century(Tanpa Kota: LKIS, 2009) Hlm.65
[10] Herdi Sahrasad, Op.Cit., hlm 54